Kesakitan dari Dominguez

Minggu, Oktober 09, 2016



Satu minggu yang lalu saya membaca novel Rumah Kertas karangan Carlos Maria Dominguez. Tebalnya tujuh puluh lima halaman, terlahap habis dalam waktu satu jam, buku untuk dibaca sekali duduk. Novel tipis itu begitu memukau, apalagi saya masih hijau pada sastra amerika latin.

Saya membacanya di sebuah warung kopi yang tenang bersama dua kawan sependeritaan. Mereka tak mau ketinggalan membaca. Akhirnya kami membacanya bergiliran satu persatu saling menunggu. Maklum, hanya terdapat satu buku Rumah Kertas di atas meja. Malam itu menjadi sejarah baru, tiga orang merampungkan satu novel dalam satu kali kesempatan ngopi.

Rumah Kertas bercerita tentang kegilaan atas buku. kisahnya begitu apik penuh sesak oleh dialog Delgado dan Breur tentang buku. Perasaan, obsesi dan cara mereka memperlakukan ribuan koleksi pribadinya.

Perbedaan perbedaan kecil seperti meninggalkan coretan di lembar buku atau membiarkanya bersih saat membaca. Saya sendiri lebih suka membaca sambil menggarisbawahi kalimat menarik atau menuliskan catatan di tepi-tepi lembaran buku. Sependapat dengan Breur yang mengaggap coretan sebagai klimaks atas ritual menggagahi buku. “aku senggamai tiap-tiap buku, dan kalau belum ada bekasnya, berarti belum orgasme,” ucapan Breur itu tak pernah dilupakan Delgado.

Soekarno juga demikian, tak pernah membiarkan bukunya kosong dari catatan. Bung besar akui itu dalam buku biografinya Penyambung Lidah Rakyat. Bukunya selalu berakhir lusuh usai dibaca.

Cerita Breur berakhir tragis ketika ribuan buku miliknya disulap menjadi bahan bangunan rumah baru di tepian pantai Argentina. Ia rekatkan ribuan buku dengan adonan semen hingga menjadi dinding rumah yang cukup kuat untuk sekedar menahan serangan musim dingin.

Selain cerita Breur, Dominguez begitu pandai menyentil ego seorang kolektor buku. Ia menuliskan keinginan setiap pemilik buku untuk dikagumi orang-orang yang mengunjunginya. Ia akan biarkan si tamu terdiam sesaat untuk mencermati deretan koleksi buku yang terjajar rapi di rak sebelum memulai obrolan. Lalu menunggu pujian terlontar dari mulut tamunya “bukumu banyak sekali.” Atau pujian lain seperti menebak isi kepala si kutu buku setelah membaca judul buku yang rumit “kamu pasti pinter banget.”

Novelis Argentina itu berhasil membahasakan hasrat narsistik terselip pemilik buku yang rikuh terucap. Saya katakan bagian ini pada teman tadi, kami tertawa mengamininya.

Seperti semua orang, saya mulai membaca buku sejak duduk di bangku taman kanak-kanak meski dalam taraf yang menyedihkan. Buku pertama adalah buku latihan membaca. Kumpulan kalimat singkat yang saya baca terbata-bata dengan suara nyaring. Suatu kali saya berlatih membaca berdekatan dengan ibu yang tengah melaksankan shalat. Mungkin karena salah melafalkan kata, ibu tertawa terpingkal-pingkal hingga membatalkan shalatnya. Ia menyuruh saya menjauhinya, khawatir membatalkan shalat untuk kedua kali.

Ingatan kejadian itu nyatanya tak banyak membantu saya mencintai buku. Selama dua belas tahun bersekolah saya membaca sekedarnya saja. Sedikit novel dan beberapa buku konspirasi yang tampak keren, selain buku-buku pelajaran sekolah tentunya. Konyolnya, membaca buku konspirasi yang penuh klaim tanpa bukti, sudah cukup membuat seorang anak SMA merasa paling intelek kala itu. Menuduh yahudi atau illuminati sebagai biang kerok di balik segala kerusakan dunia dengan entengnya. Saya tertawa geli mengenangnya saat membaca esai Windu Jusuf berjudul Mengamini Konspirasi di halaman Indoprogress bulan Agustus tahun lalu.

Beberapa kawan yang membaca ikut tertawa saat mendikusikanya. Ternyata saya tak sendiri menjadi pengagum buku konspirasi di masa SMA. Mereka ikut mengagumi tuduhan-tuduhan ngawur atas kebiadaban Yahudi saat remaja.

Mereka inilah kumpulan manusia yang sering menantang saya berdiskusi. Mereka juga yang mengenalkan saya pada dunia buku dan cara menikmatinya. Orang-orang itu menghabiskan banyak waktu untuk membaca buku. Tentu, sambil mendiamkan orang yang duduk di sampingnya. Tak ada obrolan walaupun tengah duduk satu meja di sebuah kafe. Usai membaca, tak banyak kata diumbar selain cerita soal isi buku yang dibaca. Pertemanan garing dengan sedikit basa-basi dan tiadanya motivasi moralis. Apalagi orbolan cinta, ah, mayoritas dari mereka setia di jalan sunyi selibat.

Awal kali bergaul dengan mereka, saya banyak diam sambil menumpuk stress dalam pikiran. Seenaknya saja membicarakan persoalan-persoalan yang tak dapat saya pahami. Apalagi sambil memamerkan refrensi buku yang bejibun banyaknya. Edan mereka, pikir saya kesal waktu itu.

Dan begitulah, saya mulai mengakrabi buku dari mereka. Membaca lalu mendiskusikanya sepanjang waktu. Tak ketinggalan, ikut mengacuhkan orang lain saat membaca. Ada kalanya diam sendiri menggenggam buku jauh lebih memabukkan daripada bercengkrama dengan manusia. Buku berdialog lebih sengit ketimbang manusia. Kalimat yang bebaris rapi tak hanya diam, ia terasa hidup mengutuki kebodohan pembacanya.

Pada titik krisis identitas seperti pemuda lainya, saya membaca buku Mite Sisifus. Gagasan Albert Camus yang tersohor sebagai novelis sekaligus filsuf absurditas membuat keyakinan lama saya berantakan. Tiba-tiba pikiran saya bergeser dalam memahami esensi keberadaan manusia.

Sisifus dihukum para dewa untuk sebuah pekerjaan yang mengerikan. Ia harus mendorong sebuah batu besar ke puncak gunung. Sialnya, setiap kali sisifus sampai di puncak, batu besar yang didorongnya selalu menggelinding kembali ke bawah. Ia ulangi terus pekerjaan itu tanpa akhir. Sisifus dihukum untuk mengerjakan sesuatu yang sia-sia. Dan, tiadalah hukuman paling mengerikan selain melakukan pekerjaan yang sia-sia. Camus lalu mengakhiri uraianya dengan pernyataan ganjil, bahwa kita cukup membayangkan Sisifus tersenyum bahagia. Sebuah Alegori tragis atas kenyataan hidup manusia.

Jauh hari kemudian, terbersit pikiran untuk menggugat kesimpulan camus atas nasib sisifus. Saya menolak keniscayaan absurditas hidup manusia dan keharusanya untuk pasrah layaknya Sisifus. Lingkaran keterulangan abadi macam Sisifus bukanlah kenyataan material manusia. Meski Camus mendaku diri sebagai materialis sejati.

Hidup manusia adalah soal perjuangan mengisi perutnya sepanjang hayat. Manusia musti bekerja untuk tetap bertahan. Sayangnya, perjuangan seringkali terbentur kondisi sosial yang ada. Bekerja delapan jam sehari selama seminggu penuh tak pernah menjamin adanya perbaikan taraf hidup seseorang. Ia yang menjadi buruh tetap saja menjadi buruh seumur hidup. Anak buruh seringkali terhempas dari bangku pendidikan lalu tak memiliki peluang bekerja selain menjadi buruh layaknya sang ayah. Perut yang kosong ternyata lebih menyeramkan dari sekedar kesadaran akan absurditas.

Perubahan cara pandang demikian sering saya alami, sebuah resiko menjadi pembaca buku. Tahun demi tahun dengan banyak buku berbeda memaksa saya untuk memahami banyak kisah dan definisi. Ternyata, seorang yang membaca buku musti selalu siap terhadap gempuran argumentasi yang mencengangkan dirinya. Ia mungkin tak akan dapat menggugat pendapat yang tertulis dalam sebuah buku klasik. Penulisnya sudah mati dan tak sudi bertanggung jawab atas kekacauan pikiran pembaca. Si pembaca akan berakhir dengan pergulatan di dalam diri, antara pemahaman lama dengan pengertian baru dari buku yang digenggamnya. Seringkali berlarut-larut dan menguras banyak tenaga.

Dia yang setia membaca adalah pengembara dalam perjalanan tanpa ujung. Mungkin ia pernah menggenggam sebuah buku yang dirasai akan memuaskan hasrat ingin tahunya, namun ternyata ia salah. Buku itu menunjukkan jalan pada buku yang lain.

Delgado bilang bahwa “seorang pembaca adalah pengelana dalam lanskap yang sudah jadi. Dan lanskap itu tak berkesudahan. Pepohonan telah ditulis, begitu pula bebatuan, angin di dahan-dahan, nostalgia akan dahan-dahan itu, dan cinta yang bersemi di kerindanganya.” Pengelanaan itu ada tanpa titik pemberhentian.

Lalu tiada lagi pilihan, selain keinginan untuk terus membenamkan waktu bersama buku. Satu-satunya pilihan untuk memuaskan hasrat yang tak berkesudahan, juga untuk menebus ribuan hari yang terlewatkan tanpa buku terbaca.

Malang benar nasib manusia, tak kuasa melawan waktu yang melumat kesempatan-kesempatanya. Andai ada cara mengulang waktu, pasti akan saya gunakan. Menjelajahi masa lalu untuk membaca lebih banyak buku atau mengulang beberapa buku favorit, seperti apa yang ayah Tim lakukan dalam film romantis About The Time, menjelajahi waktu. Ia datangi masa lalunya demi memuaskan hasrat untuk membaca.“it’s books, books, books,” katanya pada Tim saat membocorkan rahasia itu. Ia baca semua koleksi bukunya dua kali, novel-novel Charles dickens tiga kali malah. Sayangnya, mesin lorong waktu tak benar-benar ada.

Kini, yang tersisa hanyalah obsesi untuk terus menambah koleksi buku baru. Begitu mudah tergoda menginginkan sebuah buku baru hanya karena judulnya pernah terlontar sekali dari mulut seorang teman. Obsesi itu terkadang menjadi kesakitan manakala tak ada uang yang cukup untuk beli. Mau bagaimanapun, buku tetaplah komoditas, butuh modal agar bisa menggerayangi isinya. Dan, terus-terusan membeli buku mungkin tetaplah semacam konsumerisme.

Terlebih setelah novel Dominguez mampir di atas meja malam itu. Saya semakin gerah dan tersiksa atas sedikitnya koleksi buku di kamar, apalagi jika dibandingkan dengan jumlah buku milik Breur di dalam perpustakaan pribadinya, angkanya dua puluh ribu. Dominguez telah menyebarkan kesakitan ini, sayang ia tak mau bertanggung jawab.


lainja

0 komentar

jang ngoeroesin ini blog

Rifai Asyhari, pemoeda tanggoeng jang tinggal di djogja. Siboek dengan kehidoepan jang membosanken, jaitu bangoen tidoer, batja boekoe, ngopi sampe larut malem laloe tidoer lagi. Namoen begitoelah kehidoepan jang dijakini Albert Camus, selaloe berpoetar dalam keteroelangan abadi.
Tjinta ilmoe pengetahoean, poenya rasa penasaran jang dalam, asik beladjar sampe lupa semester.