Paranoid Dua Hari

Jumat, September 30, 2016



Empat bulan lalu, mei 2016, situasi Indonesia agak memanas. Isu kebangkitan kembali komunisme sempat menguatkan kembali otot militer dalam Negara. Bak dapat angin segar, militer kembali turun ke jalanan untuk merampas buku-buku berjudl komunis, meski seandainya buku tersebut mengkritik komunis sendiri. Namun siapa peduli, segala buku berjudul komunis pokoknya disita. Terlihatlah ketidaktahuan sama sekali serdadu militer pada dunia buku.

Ketika saya mengunjungi satu kios buku di komplek shopping Jogja, pemilik kios berujar agar saya berhati-hati terhadap buku yang saya beli. “mbawanya hati-hati mas sekarang,” katanya lirih memberi saran. Saya tak menduga perkataan itu akan terlontar dari mulutnya. Penjual itu, mas Anto, menambah informasi bahwa situasi tengah genting. Kantor penerbit Resist di maguwo disatroni militer berseragam sehari sebelumnya. Bahkan tempat sablon di Jogja tak luput dari pemeriksaan hanya karena isu bagi-bagi kaos pki.  

“Ini kan ulang tahun golden age-nya PKI mas” kata mas Anto meyakinkan, saya lalu mengiyakanya saja.

Buku yang saya beli waktu itu adalah unfinished nation karya Indonesiolog Australia Max Lane. Isinya adalah sejarah gerakan massa sejak masa penggulingan Soekarno sampai tahun 2008. Buku itu dicetak pertama kali tahun 2011 oleh penerbit djaman baroe. saya membaca empat tahun setelahnya, bulan mei 2016 saat isu golden age PKI merebak.

Di masa genting itu, saya sempat membayangkan situasi zaman orde baru dan bergumam pada diri sendiri “apakah situasi masa orba seperti ini?” membayangkan bahwa penyitaan buku di penerbitan akan berlanjut dengan penyitaan di kos-kos mahasiswa. Membayangkan militer berseragam datang mengetok pintu kamar pagi hari saat saya baru tertidur satu jam. Mereka akan memeriksa koleksi buku saya kemudian menyitanya karena aliranya kiri. Paranoid itu sempat terlintas di benak.

Namun penyitaan tak memuncak. Dua hari pasca penyitaan beberapa tempat, Jokowi langsung memerintahkan agar militer berhenti menyita buku-buku milik orang lain. Militer jangan kebablasan kata presiden. Seketika itu situasi kembali kondusif, genderang perang urung ditabuh lebih keras.

Memang militer bertindak kebablasan saat itu. Hanya karena pidato Jokowi yang memerintahkan militer untuk membantu polisi memberangus kemunculan kembali PKI yang hanya isu itu, militer seperti diberi peluang kembali berkuasa dan bertindak di luar jalur hukum.

Jokowi juga terlihat kalap, asal lempar perintah karena isu tak berdasar.

Sebulan sebelumnya, pengadilan rakyat International People Tribunal 65 Den Haaq mengumumkan keputusan sidangnya. Yaitu menetapkan Indonesia sebagai pelaku kejahatan atas genosida 65 yang menewaskan lebih dari setengah juta nyawa.

Isu tersebut hangat dibicarakan di Indonesia hingga menyulut komentar-komentar sinis dari pejabat Negara seperti Jusuf Kalla, lebih-lebih lagi pihak militer seperti purnawirawan Ryamizard Ryacudu. Tak cukup lama dibicarakan, tema public beralih pada isu kebangkitan PKI.

Alur yang lucu sebenarnya, antara penyelesaian kejahatan HAM Negara dengan kemunculan kembali partai tua itu.

Dua isu tersebut tentu saja menyeret nama militer dalam peradilan. Militer di Indonesia adalah komponen Negara dengan sejarah kelam yang panjang. Sejak kemunculanya ia jarang berlaku baik, utamanya ketika menjadi sendi utama rezim orde baru.

Sejak naiknya rezim tahun 1967 (Supersemar), invasi timor-timor 1975, tragedy priok 1984 dan huru-hara reformasi dengan peluru-peluru menembus tubuh mahasiswa. Militer tak pernah sebaik yang dibicarakan merdeka news soal kekuatanya yang ditakuti militer Negara lain.

Lalu apa pentingnya ditakuti Negara lain? Adakah kekuasaan militer membutuhkan ketakutan yang liyan untuk tetap bertahan?

Mungkin iya, dia tak cukup mengacungkan moncong senjata namun juga menebarkan ketakutan dalam masyarakat agar kuasa tetap terjaga. Kuasa dibentuk tidak saja dengan kekerasan dan paksaan namun juga imajinasi kekuatan. Dan seperti kata Widji tukul, ketakutan akan memperpanjang barisan perbudakan.

saya mencatatnya, sekedar ingin mengabadikan dua hari menegangkan. Dua hari yang membuat saya bertanya adakah situasi orde baru menyerupai hari-hari itu. Saya tak pernah mengalami rezim diktator militer Soeharto dengan penuh kesadaran. Di masa reformasi, saya sempat melihat banyak mahasiswa menaiki gedung MPR di layar kaca televisi rumah bersama ibu, namun tak ada antusias apapun ketika itu. Saya hanya murid TK di tahun 1998, seorang anak kecil yang melihat detik-detik penting reformasi dengan penuh kepolosan.





lainja

0 komentar

jang ngoeroesin ini blog

Rifai Asyhari, pemoeda tanggoeng jang tinggal di djogja. Siboek dengan kehidoepan jang membosanken, jaitu bangoen tidoer, batja boekoe, ngopi sampe larut malem laloe tidoer lagi. Namoen begitoelah kehidoepan jang dijakini Albert Camus, selaloe berpoetar dalam keteroelangan abadi.
Tjinta ilmoe pengetahoean, poenya rasa penasaran jang dalam, asik beladjar sampe lupa semester.