Mukadimah

Minggu, Agustus 28, 2016


 
Entah kenapa keinginan menulis di blog muncul kembali. Dua tahun sudah blog pribadiku tertinggal sepi, tak ada satu tulisan pun terunggah. Aku meninggalkanya bulan juli 2014 setelah hanya menggunggah enam tulisan disana, tulisan terakhir  berjudul Marxisme dan One Piece. Itu percobaan pertamaku meraba marxisme pada ruang materiil, materiil dalam one piece maksudku. Sudah itu aku biarkan blog itu beku hingga terbuka kembali akhir bulan agustus tahun 2016. Kuteguk kembali rindu untuk menuliskan kata di dalamnya.

Akhir-akhir ini keinginan menulis membuncah dalam benak, kadang meledak tak tertahankan. Melihat status banyak penulis yang selalu tertempel di timeline facebook (aku suka membuka facebook karena itu) membuatku membayangkan nikmatnya corat-coret kata. Analisis ketat Zen RS, narasi ganjil  Titik Kartitiani atau kelihaian Made Supriatma mengejek penguasa nyatanya mengundang hasrat untuk datang di dunia itu. Saat ego menguat, keinginan berkuasa atasnya muncul seperti keinginan Setadewa menguasai Atik, meski sadar dirinya prajurit KNIL. 

Aku tak pernah tahu untuk apa menulis itu, yang aku tahu menulis tak mendatangkan banyak uang. Apalagi di negeri seperti Indonesia dimana penulis hidup susah. Bukunya dibajak, minat baca orang rendah. Bisa susah ngumpulin modal kawin. Malaslah orang melakoni profesi semacam itu. 

Dalam beberapa film barat, aku saksikan kehidupan penulis tercukupi. Bahkan semua orang sepertinya bisa dan mau jadi penulis. Mereka menuliskan apa saja, veteran perang menuliskan kisah soal serdadu, petualang menuliskan jalanan yang dilalulinya dan semua itu kemudian terpajang di rak toko buku. Setidaknya begitu film-film barat bercerita.

Di Indonesia, sudah lama berkembang gaya penulisan narasi. Gaya ini sebenarnya sudah lama dipelopori Koran tempo masa orde baru dulu. Namun gaya itu kembali memuncak berkat media-media online alternative. Pindai menuliskan jurnalisme narasi, national geographic lewat features ekstra dan wartawan seperti agustinus Wibowo yang membukukan kisah perjalananya. Cerita seperti itu memang teramat lezat untuk disantap.

Tapi penulisan narasi tidak berhenti di dunia jurnalistik. Analisis inetelektual kini menggunakan cerita juga, sejauh pengamatanku orang lebih menyukai gaya ini sekarang. Rasionalisasi dialektis mbulet sedang surut penggemar. Buktinya intelektual macam indoproggress sepi pengunjung, dan justru para sejarawan yang punya kendali atas pengetahuan saat ini. Sialnya sejarah selalu dituliskan dengan narasi yang empuk.

Mungkin karena masyarakat semakin realistis. Kebenaran bagi mereka adalah kebernaran materiil, bukan rekaan teoritikus atau penghasut yang pandai bersilat lidah. Orang modern juga tak lagi berpatok pada nilai-nilai agama maupun tradisi. Fakta materiil lebih dipercaya, sesuatu yang nyata adanya. Hingga omongan berbusa politikus tak akan mengubah seseuatu apapun dalam keyakinan. Masyarakat trauma dengan orasi kosong politikus yang meledak sejak reformasi. Pembaca mungkin juga sudah tak percaya dengan tulisan yang hanya bersenjatakan rasionalisasi.

enulis butuh menjadi materialis sepenuhnya. Belajar mempertajam ingatan seperti yang dilkakukan saat masih duduk si sekolah dulu. Belajar dengan gaya bank, menumpuk sebanyak mungkin data dalam ingatan baru kemudian dibenturkan secara dialketis. 

Cara seperti itu mungkin bisa dicoba, ini tulisan pembuka untuk memulai lagi blog yang aku rubah namanya. Setadewa. Nama yang aku pinjam dari tokoh utama npvel Burung-burung manyar. Semoga saja Romo mangun berkenan mengijinkan dari alam sana. Aku mengingat perkara-perkara yang dideritakan Setadewa, dan aku menggilai gaya Romo menuliskan masterpiecenya.

Burung-burung Manyar aku baca tiga hari. Tebalnya sekira lima ratus halaman. Di dalamnya diceritakan kisah prajurit KNIL bernama setadewa yang membangkang terhadap statusnya dengan melawan kebijakan jenderal. Novel pasca colonial yang alur besarnya sceritanya eperti Hikayat Kadiroen karangan Semaoen sebelum jadi ketua PKI tahun 1920, tindakan bunuh diri kelas menengah.

Aku tuliskan ini pagi hari di wisma dangkang setelah lembur semalaman. Kos kawan yang letaknya bersebelahan dengan hotel ... Kosnya adalah gedung tua dengan dinding berlumut. Atapnya sering bocor saat hujan. Di depan wisma dangkang terdapat sebuah kandang berisi tujuh ekor kambing. Malam hari kambing mengembik cukup keras mengusik lelap tidur.. Sebuah anomali terdapat kos tua di samping hotel mewah yang terletak persis di samping jalan solo. Dalam beberapa tahun terakhir, pertentangan kelas di kota Jogja memang makin meruncing.

Semoga saja ketetapan hati menaungiku untuk tetap menulis di blog ini. Karena sudah dua malam aku merubah tampilan tempalatenya. Namun jika besok aku tak lagi menulis, wajarkanlah. Mungkin aku kembali sadar bahwa menulis memang tak pernah mendatangkan banyak uang.

Gambar dari: wallpaperswide.com






lainja

0 komentar

jang ngoeroesin ini blog

Rifai Asyhari, pemoeda tanggoeng jang tinggal di djogja. Siboek dengan kehidoepan jang membosanken, jaitu bangoen tidoer, batja boekoe, ngopi sampe larut malem laloe tidoer lagi. Namoen begitoelah kehidoepan jang dijakini Albert Camus, selaloe berpoetar dalam keteroelangan abadi.
Tjinta ilmoe pengetahoean, poenya rasa penasaran jang dalam, asik beladjar sampe lupa semester.