Marxisme Dan One Piece

Selasa, Juni 17, 2014

One piece, manga fenomenal karya Echiro Oda merupakan manga jepang terlaris saat ini. kepopuleranya mengantarkan One Piece pada titik puncaknya, dimana berjuta fans yang tersebar di seluruh dunia setia mengikuti jalan cerita One piece baik dalam bentuk manga maupun anime. Hebatnya, manga yang sering diidentikkan dengan konsumsi anak-anak justru digilai oleh para remaja usia atas.  

Konten One Piece terbilang rumit dan penuh kejutan. Selain tema pencapaian mimpi yang menggerakkan Luffy dan Kru topi jerami lainya, tema konspirasi, bisnis gelap, kudeta dan kekuasaan menjadi tema utama. Tema tersebut tampak tidak relevan dengan imajinasi anak-anak.

One Piece amat jelas menonjolkan adanya pertentangan kelas antara pemerintah dunia yang justru disimbolkan sebagai antagonis dengan bajak laut sebagai pemegang kebenaran.

Selain itu, adanya keluarga Tenryubito sebagai keluarga bangsawan pendiri angkatan laut turut menguatkan bahwa kelas bangsawan adalah kelas yang disegani meski itu adalah seorang bajingan. Tingkah laku Tenryubito yang seenaknya mengesankan bahwa borjuis bukanlah orang baik.

Di sisi lain, bajak laut berasal dari rakyat biasa yang mengarungi lautan untuk mendapatkan kebebasan. Luffy, tokoh utama, pernah mengatakan bahwa keinginanya mengarungi lautan bukan untuk menaklukkan dunia dengan isinya. Baginya, menjadi bajak laut adalah mendapatkan kebebasan sebagai manusia.

Seperti di dunia nyata, keinginan untuk bebas harus dibenturkan dengan kekuasaan pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang tampuk kekuasaan berusaha mati-matian memberangus bajak laut dengan berbagai cara. Intervensi pemerintah dengan menciptakan shicibukai sebagai alat hegemoni bajak laut menjadi salah satu jurus jitu meski seringkali dikhianati shicibukai sendiri. seperti halnya Crocodile yang melakukan kudeta Arabasta, Boa hancock yang melindungi Luffy dan Doflamingo yang mempunyai bisnis gelap dengan salah satu Yonku, Kaido.

Terlepas dari maksud pengarang, Echiro Oda, menciptakan situasi ini, entah tuntutan skenario atau adanya pesan khusus berlandaskan idealisme, penulis melihat manga ini sebagai sebuah penggambaran realitas. Dimana sejarah dibentuk berdasarkan pertentangan-pertentangan antar kelas.

Dialektika antar kelas yang menjadi rentetan sejarah panjang era bajak laut yang dicirikan dengan perang antara angkatan laut dengan bajak laut. Era ini dimulai dari perkataan raja bajak laut Gold D Roger tentang adanya harta karun miliknya, One Piece, di suatu tempat dari bagian Green Land jelang eksekusi kematianya. Perkataan ini menimbulkan reaksi besar di kalangan masyarakat untuk menjadi bajak laut. Maka terciptalah era bajak laut yang merepotkan.

Berbagai konflik mewarnai perjalanan Luffy dalam mendapatkan One Piece. salah satunya Dressrosa, negara dibawah kekuasaan Doflamingo dengan bisnis gelap senjata dan buah setan tipe Zoan. Dressrosa dijadikan alat untuk meneguhkan status quo dengan memperkuat aparatus negara, seperti kata Althusser, idelogi maupun represiff. Salah seorang keluarga Donquitto, yang dikalahkan Usopp dengan memberinya makanan pedas (penulis lupa namanya) tak ubahnya aparatus ideologi juga represiff yang merubah masyarakat yang melawan menjadi robot juga mempengaruhi otak manusia lainya untuk melupakan mereka yang melawan atas nama mereka.

Distorsi sejarah seperti ini, dengan menyuntikkan ide-ide palsu oleh penguasa, mengingatkan penulis untuk sedikit melebar pada kasus G-30-S yang selalu diikuti dengan kalimat PKI, pelaku utama G-30-S versi penguasa saat itu, Soeharto. Sehingga sampai saat ini, PKI dengans segala macam bentuk propaganda masa lalu oleh orang Indonesia, yang tidak tahu, selalu dicirikan dengan kejam, atheis dan biadab. Namun tidak pernah dicirikan dengan sosialisme, anti kapitalisme, dan penghapusan kelas serta hak milik pribadi.

Terlalu lebar, penulis ingin kembali ke tema utama, anggap saja yang tadi hiburan. Bagaimanapun, One Piece akan terlalu sederhana tatkala hanya dipandang dengan Luffy yang gemar bertarung. Bukan bertarung, tapi melawan. One Piece mengajarkan penikmatnya untuk berani melawan, melawan pada ketidakadilan. Tindakan melawan seakan mengajarkan bahwa tidak ada jalan lain dalam mendapatkan keadilan dan kebebasan selain dengan cara itu. Karena tak ada suatu kelas, seperti kata Marx, yang rela melepaskan hak-hak istimewanya secara suka rela. Seorang bangsawan yang hartanya berlebih tidak akan mungkin mau membagi hartanya secara suka rela dengan orang-orang miskin sehingga sama kaya jika hanya dengan pesan moral. Mungkin ada, tapi sangat sedikit. Untuk itulah melawan mutlak diperlukan, kediktatoran harus dilakukan.

Bahkan untuk pemerintah dunia, Sogeking membakar bendera pemerintahan dunia setelah sebelumnya seorang panglima yang menculik Robin menakuti kru topi jerami dengan simbol tersebut. Mungkin karena orang seringkali tertipu dengan satu stereotype bahwa pemerintah dunia kuat dan harus dipatuhi. Manusia seringkali tertipu dengan ide-ide palsu yang ada di otaknya. Ide yang ia ciptakan namun ia tunduk padanya. Manusia pencipta namun kalah pada ciptaanya. Luffy tidak melihat pemerintah dunia dengan stereotype itu. Ia melihat realitas bahwa di markas pemerintah saat itu hanya ada beberapa ribu pasukan pemerintah biasa dan CP 9 yang memungkinkan untuk dilawan. Bendera yang menakuti karena ide manusia sendiri dibantah dengan perlawanan Luffy. Idealisme adalah sebuah kebohongan karena mengarahkan manusia untuk tunduk dalam bayanganya sendiri. Manusia yang kalah dalam keraguan. Luffy berferak dengan pemahaman materialisme bahkan untuk mimpi besarnya menjadi raja bajak laut.

Nami, Sanji dan Zoro seringkali mengungkapkan rasa heranya terhadap seorang kapten seperti Luffy yang nampak tidak pantas diikuti. Tingkahnya bodoh, lugu dan tidak mencirikan seorang kapten yang berwibawa. Namun dengan pemahaman terbalik kita akan mendapati bahwa Luffy tidak ingin menjadi seorang raja dan pemenang di atas sesamanya. Ia menginginkan kesetaraan. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Sosialisme yang menghapuskan kelas dan menghapuskan budaya feodal yang suka melanggengkan kepatuhan absolut tanpa kritik terhadap penguasa. Meski seorang kapten, ia tidak ingin menjadikan dirinya dianggap lebih dari sesamanya. Seperti tekad Minke dalam lembar pertama rangkaian ketiga tetralogi Buru pramoedya Ananta Toer, Jejak langkah, “Tak  ada keinginan untuk menjadi pemenang diatas sesama.”

One Piece yang mendunia memiliki peran besar dalam mempengaruhi ideologi dan sikap penggemarnya, apalagi jika melihat bahwa kebanyakan mereka adalah pemuda. Jika One piece dilihat dengan menggunakan perspektif keniscayaan sejarah manusia, maka akan dilahirkan pemuda-pemuda yang berani melawan ketidakadilan dan keberanian juga kepercayaan pada mimpi.

Jika hari ini catatan ideologi dalam bentuk lemabaran-lembaran buku membosankan sulit dibuka apalagi dipahami oleh anak muda. Maka sebaiknya penggemar One Piece memahami ini sebagai  ideologi atau agama baru dan menjadikan Oda sensei sebagai nabi baru seperti Muhammad dan Marx yang banyak diimani oleh muslim dan marxis. satu hal yang harus diperhatikan penggemarnya, bahwa One Piece mengajarkan keberanian dan arti penting melawan.






lainja

0 komentar

jang ngoeroesin ini blog

Rifai Asyhari, pemoeda tanggoeng jang tinggal di djogja. Siboek dengan kehidoepan jang membosanken, jaitu bangoen tidoer, batja boekoe, ngopi sampe larut malem laloe tidoer lagi. Namoen begitoelah kehidoepan jang dijakini Albert Camus, selaloe berpoetar dalam keteroelangan abadi.
Tjinta ilmoe pengetahoean, poenya rasa penasaran jang dalam, asik beladjar sampe lupa semester.