Kampus, Wadah Tanpa Identitas

Rabu, Juni 04, 2014


 
Kampus sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi di negeri ini merupakan tempat berkumpulnya ribuan pelajar dengan berbagai macam latar belakang kebudayaan yang berbeda. Dari sabang sampai merauke orang datang dan berkumpul di satu tempat membentuk komunitas baru. Komunitas baru yang juga menjadi hal baru bagi anggota komunitas tersebut.

Mendapati komunitas baru berarti juga meninggalkan zona nyaman sebelumnya. Orang-orang yang dahulunya tinggal di kampung dipaksa suka tidak suka untuk membiasakan diri di lingkungan kota tempat kepadatan dan kesibukan berlangsung tidak kurang dari dua puluh empat jam dalam seharinya.

Tidak sedikit yang kemudian mengalami keterjutan budaya mendapati lingkungan baru ini. Pada bulan-bulan pertama mungkin masih banyak yang bertahan dengan karakternya. Namun lambat laun karakter-karakter tersebut kemudian nampak semakin kehilangan pijakanya.

Seorang pelajar dari Madura yang dulu nampak angker, kaku dan seram berubah setelah tinggal satu tahun di Jogja. Ia nampak lebih tenang, ramah dan bersikap slow. Begitu pula dengan beberapa mahasiswa asal Jawa yang sebelumnya bersikap sendiko dawuh mengiyakan berbagai perintah dan perkataan berubah menjadi beringas dan lebih lantang.

Bukan persoalan tentang baik dan buruk. Kondisi lingkungan seperti ini nampak begitu memberikan hegemoni bagi kesadaran yang tercermin lewat sikap seseorang. Tindakan sebagai manifestasi dari pikiran menjadi berbeda dari saat awal ia menginjakkan kaki di kampus dengan beberapa waktu setelah itu.

Mengutip perkataan seorang filosof Jerman, Karl Max, bahwa realitas yang menentukan kesadaran bukan kesadaran yang menentukan kesadaran. Kondisi material yang kemudian membentuk seseorang menjadi berwatak lain dari sebelumnya. Maka kampus sebagai realitas material mempunyai andil besar dalam menciptakan karakter-karekter baru yang berbeda dari sebelumnya.

Kondisi ini memberikan suatu gambaran akan interaksi yang kompleks di antara ribuan pelajar tersebut. Lingkungan yang tersituasikan dengan adanya kesamaan tujuan, yaitu melanjutkan jenjang pendidikan ternyata juga memiliki sisi lain akan tumpang tindhnya berbagai corak kebudayaan bawaan dari kampung masing-masing.

Proses dialektika yang terjadi mengharuskan adanya suatu adaptasi untuk menciptakan keseragaman demi kenyamanan dan stabilitas keadaan. Mau tidak mau orang riau harus membiasakan diri untuk dipanggil mas. Setelah sebelumnya terbiasa dengan panggilan abang. Begitu juga dengan orang Jawa sendiri. Di tanah kelahiranya sendiri ia seringkali meniggalkan bahasa ibu demi keberlangsungan interaksi yang baik.

Contoh kecil tersebut merupakan relitas di kampus. Beranjak ke ranah yang lebih besar, dialektika kecil tersebut kemudian berlanjut mengikis sedikit demi sedikit prinsip-prinsip kebudayaan sebelumnya. Dengan alasan kenyamanan, jalan menuju keseragaman dan kesamaan ditempuh dengan mengendorkan prinsip-prinsip lalu. Bersikap kompromis mengiyakan perbedaan-perbedaan lainya yang pada akhirnya menghilangkan karakter khas budaya seseorang.

Kompleksitas yang tersituasikan oleh tumpang tindihnya budaya tidak dapat dielakkan dari kebebasan berekspresi yang membentuk pluralisme budaya. Kondisi semacam ini  mengharuskan adanya hegemoni dan antagonisme satu dengan lainya. Sengaja atau tidak seseorang menginginkan orang di sekelilingya untuk mengikuti apa yang disukainya. Pertentangan-pertentangan yang terjadi terus berlanjut dari satu waktu ke lainya. Menciptakan percikan-percikan budaya baru sedikit-demi sedikit.

Hingga kita melihat dengan jelas, bagaimana budaya dalam kampus dengan jumlah mahasiswa sekitar tujuh belas ribu ini begitu beragam. Beberapa menyenangi dunia kelas dengan mata kuliahnya. Tak sedikit pula yang lebih menggilai dunia organisasi. Dari tampilan fisik pun terlihat mahasiswa berpenampilan fashionable. Namun beberapa nampak semrawut tidak peduli tampang.

Jika kita tilik awal kebermulaan kondisi ini, semua ini berangkat dari proses pendefinisian seseorang terhadap kampus, kuliah dan statusnya sebagai mahasiswa. Definisi subyektif saat memasuki dunia kuliah mengalami perbenturan dengan definisi yang sudah ada di lingkungan kampus baik telah kokoh mengada maupun masih berkembang menjadi definisi mayoritas.

Pendefinisian ini kemudian berlanjut pada olah persepsi tentang bentuk ideal budaya kampus dengan segala atributnya yang kemudian berkembang mencari pembenaran-pembenaran atas keyakinan sebelumnya. Beberapa meyakini persepsi sebelumnya dengan mengandaikan proyeksinya sesuai kemauan. Namun beberapa mengalami perbenturan dahsyat yang merubah persepsi dari harapan sebelumnya.

Kesan pertama atau disebut law of primacy merupakan point besar dalam menentukan definisi menyeluruh selanjutnya. Karena ia merupakan kerangka awal besar yang akan mendefinisikan hal spesifik lainya. Perbedaan pemaknaan menimbulkan kesan berbeda.

Melihat contoh yang terjadi, OPAK dan Sospem yang biasanya diikuti mahasiswa baru adalah proses penyadaran makna akan bentuk budaya kampus yang ideal. Sayangnya pada kedua hal tersebut terjadi perbenturan diantara keduanya. OPAK yang mengandaikan bentuk mahasiswa ideal sebagai seorang organisator dipaksa untuk bertarung dengan Sospem yang mengandaikan mahasiswa ideal sebagai insan akademis yang cinta mati pada bangku kuliah.

Keduanya saling menghegemoni menguatkan posisinya dengan memberikan proyeksi-proyeksi ideal menurutnya. Posisi dosen, bagi kebanyakan mahasiswa baru kerap dianggap lebih meyakinkan sebagai pembawa kebenaran, meski perlu dipertanyakan lagi, dibandingkan dengan panitia OPAK. Sehingga persepsi tentang dosen sebagai manusia yang lebih benar menyebabkan banyak mahasiswa lebih mengiyakan definisi ideal dari dosen lewat Sospem. Hingga tidak mengherankan apabila hari ini mahasiswa akademis yang cinta pada baangku kuliah lebih banyak dibandngkan mahasiswa organisatoris. Semua itu karena kesan pertama atau law of primacy.

Meski patut disangsikan bahwa kesan pertama seterusnya akan tetap bertahan. Lingkungan sebagai penentu kesadaran seperti telah disinggung di awal merupakan basis struktur yang menentukan super stuktur. Intensitas dosen tidak pernah menjadi sesering seperti saat Sospem, yaitu delapan jam kali tiga hari atau dua puluh empat jam untuk menciptakan kesan pertama. Selanjutnya mahasiswa akan lebih sering terlibat dalam peercakapan dengan kawan-kawanya dengan berbagai latar belakang. 

Lingkungan seperti inilah yang kerap menghancurkan kesan pertama tadi. Banyak mahasiswa yang kemudian merubah persepsi, memanifestasikan pikiran dalam bentuk tindakan yang berbeda dari bentuk ideal kesan pertama. Akibatnya terjadi pergeseran menuju pada keberagaman yang kompleks.
Perubahan paaradigma berlanjut kepada hubungan saatu sama lainya. Terjadilah perubahan sosial di lingkungan kampus. Perubahan sosial, seperti pendapat Gillindan Gillin, merupakan suatu variasi dari cara-cara yang lebih di terima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

Dalam konteks kampus, perubahan terjadi cenderung dikarenakan faktor seperti kebudayaan lingkungan, kecil maupun besar dan berbagai ideologi baru yang di dapatkan.

Proses-proses itu terus berlanjut, menciptakan sebuah perjalanan panjang membentuk sejarah keberagaman budaya di kampus. Meski yang lama pergi datang lagi yang baru menggantikanya. Usaha untuk meniptakan keseragaman di tengah kebebasan berekspresi meneriakkan pendapatnya masing-masing seperti ini nampak menjadi mustahil. Pihak kampus tidak akan bisa memaksa semua mahasiswa menjadi mahasiswa akademis saja. Akan menjadi tidak bijak apabila birokrasi kampus memaksa mahasiswa dengan ancaman absen, ip dan segala macam tetk bengeknya. Toh mahasiswa bukan anak kecil dala usia doktrin. Para organisator pun tidak bisa memaksakan dirinya untuk berkuasa menarik mahasiswa ke ranah organisasi. Masih terlalu banyak mahasiswa yang sudah harus hidup dalam kondisi realistis tidak idealis.

Banyaknya budaya yang kompleks dan memberi pengaruh besar terhadap kondisi sosial kampus mengharuskan mahasiswa melihat dan memilih kemana arahnnya. Terkadang mereka mencoba menemukan hal baru yang nyaman baginya. Banyak pula yang lebih suka mengurung diri dalam kos saja.

Kalau seseorang tidak pintar menemukan dan menempatkan dirinya pada posisi yang ideal baginya, maka yang terjadi adalah semacam keterombang-ambingan. Ia tidak tahu mana yang paling tepat baginya. Yang dirasakanya adalah sebuah keadaan dimana kebenaran-kebenaran relatif dari berbagai suguhan kebiasaan membayanginya. Orang seperti itu biasanya kehilangan arah dan mengalami krisis identitas. Kehilangan semangat, sibuk dala perenungan untuk menemmukan lingkungan yang pas bagi dirinya.

Bagaimanapun kompleksnya budaya dalam ranah kecil ini, yaitu kampus, namun kondisi semacam ini menjadi miniatur akan keberlangsungan kehidupan dalam masyarakat nanti. Kampus, sebagai institusi pendidikan yang menampung mahasiswa dari berbagai macam latar belakang juga mssenjadi tempat berdialketika yang menarik. Pertentangan-pertentangan selalu saja menghasilkan hal baru yang menarik.

Dalam keberlangsunganya, penulis kira hal itu adalah sebuah keniscayaan. Zaman terus bergerak menciptakan budaya pada masanya. Yang patut di perhatikan adalah mahasiswa sebagai pelaku utama dalam proses ini. Mahasiswa tanpa kesadaran kritis akan meimilih gaya yang tidak sesuai, mendefinisikan makna eksistensinya di kampus secara tidak tepat dan menemukan budayanya sendiri yang tidak membangun. Nongkrong, pacaran dan tidak suka baca buku. Budaya baru yang telah menjalar namun bagi penulis tidak dapat dibenarkan. 

Pluralisme budaya memang mengharuskan adanya hegemoni dan antagonisme di antara pihak-pihak yang ada. Pertarungan memperebutkan kebenaran versinya akan terus berlanjut di kampus yang dulu katanya putih, merakyat dan suka melawan. Mungkin itu definisi yang tepat jika kita mau sedikit legowo untuk membaca budaya kampus dengan menggunakan kacamata sejarah. Karena sejarah adalah kebiasaan dan keniscayaan. Sayangnya keniscayaan itu tidak lagi dominan dan enggan untuk ditilik oleh mahasiswa sekarang. Sehingga dengan dalih menciptakan budaya baru sejarah dilupakan dan kini tinggal kenangan.     







lainja

0 komentar

jang ngoeroesin ini blog

Rifai Asyhari, pemoeda tanggoeng jang tinggal di djogja. Siboek dengan kehidoepan jang membosanken, jaitu bangoen tidoer, batja boekoe, ngopi sampe larut malem laloe tidoer lagi. Namoen begitoelah kehidoepan jang dijakini Albert Camus, selaloe berpoetar dalam keteroelangan abadi.
Tjinta ilmoe pengetahoean, poenya rasa penasaran jang dalam, asik beladjar sampe lupa semester.