Yang Instan-Instan Saja

Rabu, Mei 07, 2014


"Ciri utama (posmodernisme) adalah munculnya bentuk baru kedataran dan kedangkalan, sebuah bentuk baru kecintaan akan kedangkalan" -Fredric Jameson

Bangun pagi, orang-orang hari ini sudah tergesa-gesa dihantui keharusan tepat waktu. Bangun pun sudah tidak nikmat seperti gambaran pada film-film romantis. Menghirup udara pagi sambil ditemani secangkir teh hangat. Karena segera setelah bangun, mereka sudah dihadapkan pada setumpuk beban kehidupan yang menggumpal di otak. Meja sarapan hanya menjadi tempat singgah singkat tanpa ada sapaan hangat pada anggota keluarga lainya.

Fenomena manusia yang hidup dalam budaya kecepatan banyak menghilangkan makna dalam kehidupan. Tak ada perenungan, pemaknaan dan kehangatan yang menjadi simbol perbedaan manusia dari makhluk lainya. Manusia hidup tak beda dengan hewan, hanya menjalani kehidupanya sekedar untuk bertahan tanpa mengerti mengapa harus begitu. Peradaban yang dibangun filsuf dengan kebudayaan berfikirnya yang kuat menghilang dalam kecepatan. Segala hal dipandang baik kala itu cepat, anti lelet dan instan.

Masyarakat posmodern mencintai makanan instan, proses instan, komunikasi instan dan berfikir instan. Untuk duduk berlama-lama mendapatkan hasil matang ia enggan. Sehingga kebutuhan akan segala hal instan mengabaikan kualitas dan makna darinya.

Makna sudah tidak dipentingkan lagi. Baginya yang instan-instan sajalah. Terlepas dari kualitas yang ada padanya ia tak terlalu memikirkan. Yang penting cepat selesai dan segera berpindah pada hal lainya.

Saat semua hal diukur berdasarkan kecepatan, manusia hanya mencintai permukaan namun enggan untuk tenggelam dalam dasar persoalan. Ilusi-ilusi penampakan yang dangkal pun begitu mudah menipu. Penampakan akan kecantikan muka, keindahan mobil mewah dan kelezatan makanan hanya dipandang dari apa yang nampak padanya secara kasat mata, sedangkan nurani tidak punya andil dalam menentukan kualitas kebaikan.

Orientasi kepuasaan dalam hidup beralih menuju kepuasaan material. Asalkan kenyang, naik mobil mewah dan dompet tebal mereka sudah senang. Materi, penampakan dan fisik membelenggu nurani untuk memberikan hak spenilaian.

Maka tak mengherankan, kalau informasi dari kantor-kantor berita menyuguhkan kehancuran moral manusia. Pencurian uang negara, kelainan seks dan aksi pembunuhan menjadi tontonan yang tidak menimbulkan kepekaan lagi. Sudah sangat biasa.

Budaya kecepatan tidak saja menjadikan manusia mengada hanya untuk sekedar bertahan namun juga menghilangkan makna kehidupan.

Dunia ini memang bergerak maju dan semakin canggih. Namun kecanggihan itu sendiri sudah terlepas dari semangat kemajuan yang melandasinya. Seperti anak kambing yang kehilangan induk, kemajuan bingung mencari titik pijak fondasinya. Ia bergerak maju dalam kesemrawutan yang sulit untuk dikendalikan. Kemajuan-kemajuan yang kehilangan titik pijak lalu mencari pembenaranya sendiri dengan dalih pluralisme.

Manusia bingung menentukan mana yang paling benar. Asalkan rasional dapat diterima logika maka itu benar. Nampaknya kebangkitan logika lewat renaissance juga tidak dapat dibenarkan saat ini. karena ternyata manusia semakin cerdas dalam merasionalkan segala perkara. Sudah tidak ada lagi yang mampu mengekang keyakinan seseorang selama ia pandai memberikan argumen logis. Bahkan untuk seks sejenis, pelanggaran HAM, dan transgender.

Perlu ada norma untuk mengatasi logika manusia yang semakin liar. Aturan-aturan yang ada diatas kekuatan fikir manusia itu sendiri. Aturan yang bukan rasional juga bukan irasioanal melainkan ada diatas rasional. Kekuatan diatas kekuatan.

Mungkin itu mitos, mungkin juga agama.

lainja

0 komentar

jang ngoeroesin ini blog

Rifai Asyhari, pemoeda tanggoeng jang tinggal di djogja. Siboek dengan kehidoepan jang membosanken, jaitu bangoen tidoer, batja boekoe, ngopi sampe larut malem laloe tidoer lagi. Namoen begitoelah kehidoepan jang dijakini Albert Camus, selaloe berpoetar dalam keteroelangan abadi.
Tjinta ilmoe pengetahoean, poenya rasa penasaran jang dalam, asik beladjar sampe lupa semester.