Sing Waras Ngalah
Senin, April 28, 2014Dalam sebuah perdebatan, lebih
tepatnya debat kusir, seringkali seseorang yang sudah kesal dengan keadaan yang
terus berlarut-larut karena tidak jelasnya perdebatan mengakhiri pertentangan
tersebut dengan closing statement “yowes sing waras ngalah”( yaudah yang
waras ngalah).
Kalimat itu dilontarkan entah
karena ia sudah kehabisan argumen untuk menangkis lawan bicaranya, atau karena
muak mendengar ocehan lawan debatnya yang membosankan. Nampaknya, kalimat itu
menjadi senjata ampuh untuk menghentikan perdebatan tanpa harus kehilangan
harga diri saat tak lagi membalas argumen lawanya. Karena biasanya,
mempertahankan pendapat melalui berbagai argumen dalam debat kusir bukan atas
nama kebenaran melainkan gengsi. Maka kalimat sing waras ngalah menjadi
semacam tameng untuk melindungi harga diri.
Namun, yang lebih menarik dari
kalimat itu adalah majas sindiran yang terkandung di dalamnya. Kalau orang
waras mengalah berarti ia memberikan kemenangan kepada orang tidak waras atau
orang gila. Membiarkan orang gila mendapatkan kemenangan dan memegang otoritas
kebenaran. Orang gila-lah yang akan menguasai panggung pengetahuan dan menjadi
dewa pencerahan dalam ruang debat kusir tersebut. Sedangkan yang menyebut
dirinya waras lebih suka untuk membiarkan orang gila tersebut mendominasi dan
menguatkan hegemoni terhadapnya.
Saya pun bertanya, apakah
mengalah dalam konteks membiarkan argumentasi yang salah menjadi pemenang
menjadi tindakan moral yang dapat dibenarkan bagi orang yang menyebut dirinya waras.
Akan menjadi sebuah hal yang mengherankan tatkala orang yang mengaku waras
membiarkan sebuah kegilaan menjadi pemenang. Mengapa kebenaran harus mengalah
pada kegilaan. Apakah waras juga meiliki arti ikhlas beramal bahkan kepada kegilaan.
Sikap mengalah yang seperti ini
(red- mengalah pada kegilaan) memberikan gambaran akan ketidakjelasan ajaran
moral orang waras. Mengalah sebagai salah satu bentuk mengindari sifat ambisius
tidak dipahami dengan pemahaman yang tepat dan jelas. pemahaman tentang mengalah
dipahami secara umum bagi setiap tindakan. Apapun bentuk pertentangan yang ada,
mengalah menjadi solusi sebagai jalan yang dianggap benar. Kalimat pembenaran
seperti “jangan jadi orang ambisius, gak baik” menjadi jalan perlindungan bagi
sikap mengalah.
Terkadang, dalam konteks tertentu
mengalah adalah sikap yang dapat dibenarkan. Ahmad Dhani bilang, mengalahlah
untuk menang. Namun pemahaman tentang konteks tersebut kiranya masih amat tidak
jelas. Sehingga apapun konteksnya, mengalah selalu dianggap benar meskipun sebenarnya tidak
benar. Bukankah membiarkan kejahatan berarti juga tindakan kejahatan. Kalau
kalimat sing waras ngalah diucapkan pada konteks yang salah maka kalimat
tersebut menjadi semacam boomerang bagi yang mengucapkanya. Dalam anggapan dirinya
yang membenarkan tindakan tersebut, ia membiarkan ketidak warasan menguasai
dirinya.
Hari ini, kalimat sing waras ngalah telah menjadi ucapan mainstream. Di rumah orang miskin,
tempat billiard orang kaya atau di gereja orang-orang suci kalimat itu menjadi
semacam jimat pelindung.
Sing waras ngalah adalah simbol sikap pasrah akan keadaan. Bermain
aman menghindari konfrontasi langsung dengan manusia lainya. Mungkin pernah
mencoba memenangkan kebenaran, namun tidak cukup kuat bertahan denganya.
Mungkin juga sebagai orang waras
terlalu santun dalam menyampaikan kebenaran. Atas nama santun kebenaranpun
dikesampingkan. Jangan suka ngotot katanya, ngalah aja. santun yang suka
dibanggakan sebagai karakter khas orang Indonesia menjadi dinding yang menahan
laju kebenaran. Sebaiknya tidak usah terlalu santun kalau memang karenanya
kebenaran orang waras dikesampingkan. Apalagi yang lebih puitis selain
berbicara tentang kebenaran. Apalagi yang lebih romantis selain memperjuangkan
kebenaran.
Sudahi saja sikap mengalah pada
ketidakadilan. Jangan pasrah apalagi menyerah pada keadaan. Orang waras sudah
selayaknya belajar menghayati sikap ambisius dalam mempertahankan kebenaran.
Mengalah adalah sebuah pengkhianatan terhadap kebenaran yang diyakini.
Kebenaran itu hanya akan bersarang dalam pojok kamar orang waras, menjadi
coretan dinding yang hanya ia baca sendiri.
Jangan terlalu cepat menyimpulkan
bahwa ambisius adalah karakter jahat seperti setan yang serakah. Karakter
ambisius harus ditanamkan sejak dini sebagai karakter berkonotasi positif dalam
konteks tertentu tentunya. Mengalah pada pada kegilaan sudah saatnya diakhiri.
Selama sing waras ngalah masih menjadi kalimat mainstream, akan banyak
orang-orang yang menyatakan dirinya waras mengalah pada kegilaan. Dari debat
kusir akan berlanjut menuju dunia yang dikuasai kemenangan orang gila. Memang
sudah terjadi dimana orang-orang gila menindas dan menguasai orang waras.
Dengan otoritasnya mereka dengan mudah memproduksi kebenaran versinya.
Kebenaran yang gila atau kegilaan yang memakai topeng kamuflase kebenaran.
Saya sudah kehabisan kata untuk
memberikan deskripsi tentang sing waras
ngalah. Mungkin bisa anda tambahkan. Namun, sudah saatnya kalimat itu
dihapuskan lalu diganti dengan kalimat baru, sing waras menang.
0 komentar