Mau Kemana?

Jumat, Mei 09, 2014



Anggapan tentang masyarakat Indonesia yang ramah sudah amat kondang melekat bak sepasang mata koin yang tak bisa dipisahkan. Entah ini memang pengakuan dunia terhadapnya atau mungkin pengakuan atas diri sendiri. Anggapan itu telah banyak menyihir masyarakat Indonesia untuk menjadikan dirinya manusia yang ramah. Entah ia nyaman denganya atau memaksakan diri, takut dianggap bukan bagian masyarakat Indonesia.

Kehidupan masyarakat Indonesia juga banyak dihiasi dengan tindakan-tindakan yang menunjukkan sikap ramah itu. Menawarkan makan di warung kepada orang yang tidak dikenal (meski kebanyakan basa-basi), memberikan tegur sapa di jalan, dan amat suka menanyakan “mau kemana” kepada yang lainya.

Pertanyaan mau kemana sudah menjadi pemandangan umum di sekitar kita. Tiap kali ada rekan yang menyapa seringkali ditimpali dengan mau kemana. Entah sebenarnya benar-benar peduli dengan arah kepergianya atau hanya sekedar memenuhi kebeutuhan interaksi sebagai simbol atas sikap ramah.

Dari rekam kejadian yang tercipta, orang-orang yang menanyakan hal tersebut biasanya sedang asik menikmati dunianya. Sapaan yang berlewat dianggap tak ubahnya bisikan-bisikan makhluk halus di telinga. Pertanyaan mau kemana juga hanyalah sebuah bentuk apresiasi pada bisikan kecil itu.

Kemanapun perginya orang tersebut toh tidak terlalu diperhatikanya. Baginya, mau kemana hanyalah pemanis untuk sekedar memberikan efek magis pada dirinya agar terkesan ramah dan penuh perhatian.

Bahkan kalaupun pertanyaan itu dijawab dengan jawaban yang tidak masuk akal mungkin akan diiyakan saja. Misalkan di jogja seseorang menjawabnya dengan “mau ke Waikambas”, sang penanya akan manggut-manggut saja.

Lalu apa arti kata kalau tak ada makna di dalam ucapanya. Ucapan yang dijadikan topeng penutup muka apatis masyarakat Indonesia. saat individualisme kian menguat saat kepedulian kian melarat. Dan bagaimana ramah yang menjadi simbol wajah masyarakat Indonesia. Apakah selanjutnya akan menjadi bagian dongeng seperti cerita kejayaan raja-raja masa lalu.

Mungkin bersikap ramah nampak tidak relevan dengan konteks zaman saat ini. urusan individu yang kian menumpuk menuntut segera dituntaskan. Dan mengurus diri menjadi prioritas. Kalau perut lapar mana mungkin sempat memperhatikan tujuan pergi seseorang. Kalau urusan pribadi masih banyak, abaikan saja urusan orang lain.

Tatkala kepentingan individu dijadikan prioritas, kebersamaan semakin sulit ditemukan. Falsafah bangsa yang diidamkan Bung Karno dan pendahulunya lewat slogan sama rata sama rasa menjadi mustahil diwujudkan. Menanyakan mau kemana saja sudah enggan apalagi memberi makan pada pengemis di jalan. Teriakan-teriakan tentang rakyat yang disuarakan demonstran di jalanan bahkan mengabaikan seorang pengemis tua di sampingnya. Mereka meneriakkan kesejahteraan rakyat namun melihat nenek tua kelaparan di sampingnya diam saja.

Kehangatan “mau kemana” akan menjadi kehilangan maknanya karena dilontarkan tanpa kedalaman rasa. Apa yang dikatakan hanyalah sebuah basa-basi tanpa makna yang menghabiskan tenaga. Lebih baik balas senyum saja untuk menghemat tenaga. Setidaknya tidak mengecewakan yang ditanya karena menyuguhkan sebuah kebohongan bermuka ramah.

Kalaupun tidak bisa mewujudkan sosio demokrasi yang penuh kepedulian, setidaknya dapat menghadirkan semangatnya lewat pertanyaan mau kemana, simbol keramahan juga kepedulian.

mau kemana dek?

lainja

0 komentar

jang ngoeroesin ini blog

Rifai Asyhari, pemoeda tanggoeng jang tinggal di djogja. Siboek dengan kehidoepan jang membosanken, jaitu bangoen tidoer, batja boekoe, ngopi sampe larut malem laloe tidoer lagi. Namoen begitoelah kehidoepan jang dijakini Albert Camus, selaloe berpoetar dalam keteroelangan abadi.
Tjinta ilmoe pengetahoean, poenya rasa penasaran jang dalam, asik beladjar sampe lupa semester.